Minggu, 01 Maret 2009

Belajar Dari Orang-Orang Gaza : Pesan Untuk Bangsa Indonesia

Kemerdekaan telah lama kita miliki, namun sepertinya dari tahun ke tahun arti kemerdekaan bagi diri kita semakin sempit dan sederhana. Semakin lama, kita semakin tidak menghargai kemerdekaan yang diberikan Allah lewat tanga-tangan berurat kakek-kakek kita. Padahal 17 Agustus 1945 itu belum lama, baru 63 tahun satu generasi pun belum.

Bagi kita arti kemerdekaan hanya jika kita bisa hidup tenag tidak terlihat perang dan perbudakan. Kemerdekaan bagi kita kini sebatas jika bisa makan tiga kali sehari. Sebegitukah sempitnya arti kemerdekaan bagi kita? Kemerdekaan tidaklah sesempit dan sesederhana yang kita kira. Kemerdekaan itu adalah harga diri, tak lain.

Harga diri, tak sesederhana kedengarannya. Ia memiliki arti yang luas dan global. Ya, kemerdekaan adalah harga diri. Kemerdekaan tidak selalu berarti senag. Mati pun bisa berarti, deritapun bisa berarti merdeka. Lihatlah para pahlawan yang gugur dan menderita demi harga diri bangsanya. Dan kemerdekaan tidak sama dengan kebebasan, independent isn’t same with freedom.

Sebelum 17 Agustus 1945 pun bangsa Indonesia telah merdeka, karena mereka dahulu telah memiliki harga diri. Mereka tidak pernah meyerah terus berjuang melawan para kumpeni-kumpeni penjajah menuntut hak mereka sebagai pribumi.

Namun kini, kalau tidak mau disebut merdeka, kita tidak sempurna merdeka. Kita tidak terlalu mementingkan harga diri yang mana adalah inti dari kemerdekaan. Kita tidak sadar kalau kumpeni-kumpeni itu datang kembali, namun, dengan penampilan dan cara yang berbeda. Kapitalis modern itulah namanya sekarang, tidak lagi membawa senjata dan berkendara perang.
Apa mungkin kenikamatan dan kebahagiaan yang telah kita rasakan semenjak 17 Agustus 1945 sampai detik ini telah membuat kita lupa akan arti kemerdekaan? Apakah kita terlena? Tidak juga! Siapa bilang kita selalu bahagia? Bukankah masih terdapat anak-anak busung lapar di pelosok bumi pertiw iniInagtkah masih terlihat para pengemis belia di perempatan lampu merah? Ingatkah antrian panjang jompo dan anak kecil membawa jerigen? Masih ingatkah dengan rumah-rumah seng dan papan di bantaran-bantaran sungai yang menghitam? Ingatkah dengan ribuan aksi tauran antara anak muda berseragam? PBB pun menyatakan bahwa 65% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.

Coba kita lihat Bangsa lain, mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari mereka. Kita lihat bangsa Palestina khususnya penduduk Gaza. Mereka juga menderita seperti kita namun masih menjaga harga diri. Sulit dibayangkan bertahun-tahun mereka hidup terisolasi dikelilingi tembok beton yang tinggi dan tebal. Namun mereka bisa bertahan tidak menyerah begitu saja walau harus hidup menderita. Mereka terus melawan sampai hanya dengan batu walaupun harus dibalas dengan peluru. Tidak ada yang putus asa, mereka tegar dan sabar. Tidak ada yang menyalahkan takdir, karena mereka yakin kalau Allah tengah menguji mereka dan pasti akan menggantinya dengan kenikmatan yang lebih baik.

Penderitaan yang panjang tidak disadari telah membentuk jiwa penduduk Gaza menjadi jiwa yang tegar dan penuh cita-cita. Seharusnya kita memiliki jiwa tersebut, bayangkan berbagai musibah telah menimpa kita. Anehnya Hampir semua musibah tersebut disebabkan bangsa Indonesia sendiri dan juga oleh alam. Sepertinya tuhan telah marah kepada kita. Atau Dia hanya menegur kita agar kembali ke jalan yang benar. Entahlah…
Intinya kita bangsa Indonesia harus berintropeksi diri dan berhenti berorieantasi kepada dunia tapi berorientasi kepada akhirat. Bukankah dunia ini hanya sesaat sedangkan akhirat itu kekal? Satu bangsa di Jalur Gaza telah mebuktikannya di hadapan kita.

Tidak ada komentar: